Kedai bibit parfum berderet-deret di ujung jalan yang relatif sempit. Padat dan meriah. Di antara botol-botol parfum yang cantik terpajang pula berwarna-warni jambangan ”shisha”, alat isap ”rokok” Arab. Itulah penanda perjalanan sudah sampai di Condet.
Kedai-kedai bibit parfum—yang masih harus diracik untuk jadi parfum—bisa disebut sebagai ciri khas hampir setiap kampung Arab di Pulau Jawa. Mulai dari kampung Arab di Ampel, Surabaya; Pasar Kliwon, Solo; hingga kampung Arab Condet, Jakarta Timur.
”Memang tradisi orang Arab meracik sendiri parfum mereka,” kata Thoha, pemilik kedai bibit parfum di Condet
Pria berdarah campuran Betawi-Arab ini bercerita, di Timur Tengah parfum dari Eropa dan Amerika tak cocok begitu saja dipakai karena perbedaan iklim yang ekstrem. Di Arab, bibit parfum diramu untuk memperkuat aroma parfum agar lebih tahan dengan iklim panas.
Minyak gaharu dan cendana dari Indonesia termasuk bahan terpenting untuk racikan parfum di kawasan Timur Tengah. Kebiasaan meramu parfum ini pun terbawa di kalangan warga keturunan Arab di Indonesia.
Di Condet, Thoha menjelaskan, meskipun toko-toko parfum berjajar, masing-masing punya pelanggan karena parfum hasil ramuan satu toko dengan toko lainnya tak akan sama. Di toko-toko ini, racikan yang cocok dan disukai seorang pelanggan akan dicatat si pengelola toko dan disimpan seperti ”resep” khusus untuk si pelanggan.
”Komposisi bahan dan takarannya saya catat, khusus untuk dia. Enggak akan saya kasih ke pembeli lain. Orang kan enggak suka baunya sama dengan orang lain,” ujar Thoha. Rupanya, meracik parfum mirip seperti menjahitkan baju, sesuai ”ukuran” aroma badan masing-masing.
Ganti aroma
Setelah aroma wewangian menggoda di ujung jalan masuk ke Condet, aroma bumbu masakan ganti menggoda selera ketika kaki melangkah lebih dalam ke Condet. Mengunjungi kawasan ini tak akan ”sah” tanpa menyempatkan menikmati kuliner bercitarasa Timur Tengah yang mendominasi Condet saat ini.
Begitu banyak pilihan, mulai dari nasi kebuli di rumah makan Puas dan Layla, hingga nasi kabsah di Resto Al Mukalla. Menu nasi ala Timur Tengah ini menyuguhkan nasi yang dimasak bersama daging kambing dan kaya bumbu.
Bila ingin menikmati kelezatan asli daging kambing–tanpa banyak bumbu—sajian di rumah makan Sate Tegal Abu Salim bisa jadi pilihan. ”Daging kambing yang empuk, tanpa bau amis itu tergantung kambing yang dipilih dan cara potong sejak penyembelihan,” ujar Lili Ahmad Al Kaff, pemilik rumah makan tersebut.
Mula-mula dipilihlah kambing yang masih muda, sekitar usia 4-5 bulan. Kemudian kambing dipotong dengan memperhatikan irisan uratnya. Daging kambing juga tidak boleh dicuci setelah disembelih, melainkan hanya dilap bersih. Justru karena tak terpercik air sebelum proses memasak itulah aroma daging tak menyengat atau prengus.
Selain menyajikan aneka menu, Sate Tegal Abu Salim juga seperti toko makanan swalayan, berbagai jenis kue dan penganan khas Timur Tengah ada di sana dari roti maryam yang gurih hingga kue kaad yang legit dan berwangi rempah. Tak ketinggalan, tersedia pula susu kambing, versi orisinal ataupun dengan tambahan madu.
Jangan khawatir, bukan hanya dagingnya yang tak beraroma amis, susu yang diperah dengan benar juga sama sekali tak menyisakan aroma kambing. ”Proses memerahnya harus bersih. Kalau ada bulu jatuh ke susu, bisa langsung jadi prengus,” kata Lili yang pindah dari Tegal, Jawa Tengah, ke Condet dan membuka rumah makan di kawasan ini sejak 25 tahun lalu.
Ketika waktu makan siang berlalu dan sore menjelang, Condet bisa dinikmati dengan secangkir teh poci dengan gula batu atau kopi Arab—yang antara lain dibumbui cengkeh, kapulaga, dan gula merah—serta kue kamir.
Kue yang bentuknya mirip apem ini sederhana saja, hanya berbahan tepung terigu, ragi, santan, mentega, sedikit gula dan garam. Kamir jauh lebih nikmat disantap panas-panas ditemani secangkir kopi yang juga panas. Di Condet, kamir biasa disajikan sebagai pengganti sarapan pagi atau saat ngopi sore.
Karenanya, gelaran kaki lima yang menjajakan kamir—lengkap dengan panggangan—laris manis saat pagi tiba atau menjelang sore di Condet.
Percampuran budaya
Condet pernah ditetapkan sebagai kawasan cagar budaya Betawi pada 1974. Hanya sekitar sepuluh tahun status itu bertahan. Kini, warga Betawi di Condet tak lagi memberi ciri kuat pada kawasan itu. Sebaliknya, nuansa Arab menguat, seiring arus pendatang warga keturunan Arab yang mengalir ke Condet, baik dari sekitar Jakarta maupun dari berbagai daerah lain.
Bisnis penempatan tenaga kerja Indonesia untuk kawasan Timur Tengah yang banyak berkembang di Condet menjadi salah satu pendorong arus migrasi ini. ”Selain ekonomi, juga secara kultural ada kedekatan warga keturunan Arab dan Betawi karena pengaruh Islam,” kata Husein Faris yang pindah dari Surabaya ke Condet pada awal 1990-an.
Akulturasi budaya berjalan alami antara lain lewat pernikahan campur. ”Banyak juga yang nikah campur, bukan hanya antara keturunan Arab dan Betawi, ada juga yang Arab-Sunda dan lain-lain,” ujar Husein.
Para pendatang pun tak ragu menampakkan identitas dengan tetap menjunjung toleransi. Keanekaragaman ini bisa juga dilihat dari plang nama tempat usaha di Condet: Dodol Betawi Hj Mamas, Kamir asli Pemalang, Sate Tegal Abu Salim, Salon Lulur Madura. Ini Jakarta bung... Indonesia.
Posting Komentar